Kadang kita salah kaprah memahami kontribusi. Banyak orang berpikir, kontribusi itu baru bisa dilakukan ketika kita memegang sebuah jabatan. Seolah-olah kalau belum jadi pengurus, belum duduk di struktur, atau belum punya amanah resmi, maka kita cukup jadi penonton. Padahal, semangat dakwah itu jauh lebih luas daripada sekadar urusan jabatan.
Kontribusi itu bukan tentang posisi, tapi tentang komitmen. Kalau kita sudah memilih jalan dakwah, sudah ikhlas menjadi kader pelopor, maka sejatinya kontribusi bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan dalam bentuk apa saja. Jangan tunggu ada panggilan “siap jadi ketua ini” atau “ditugaskan jadi sekretaris itu.” Justru tanpa jabatan pun, ladang kontribusi itu terbentang luas.
Coba renungkan. Apakah menghadiri agenda di DPC atau DPRa itu butuh jabatan? Tidak. Apakah hadir di tasqif, mabit, atau kegiatan senam nusantara itu butuh antum jadi pengurus dulu? Juga tidak. Yang dibutuhkan hanyalah kehadiran kita, semangat kita, dan kesediaan kita untuk menyambungkan energi positif.
Bahkan, sering kali dakwah ini bukan butuh orang yang hebat bicara di depan, tapi orang-orang yang istiqomah hadir, yang siap membantu sekecil apa pun peran. Mulai dari menyiapkan konsumsi, dokumentasi, jadi panitia kecil, sampai sekadar menyapa simpatisan yang hadir dengan senyum tulus. Bukankah itu juga bagian dari kontribusi?
Di sisi lain, jabatan itu sejatinya hanya alat. Ada atau tidak ada jabatan, kontribusi tetap harus berjalan. Kalau kita hanya bergerak karena jabatan, maka ketika jabatan itu selesai, semangat kita juga akan ikut padam. Tapi kalau kontribusi sudah jadi karakter, maka kapan pun dan di mana pun, kita tetap hidup bersama dakwah.
Mari kita periksa hati masing-masing: Apakah kita hadir dalam aktivitas dakwah hanya kalau dilibatkan sebagai panitia atau pengurus? Ataukah kita hadir karena kita memang cinta, karena kita merasa inilah jalan perjuangan kita?
Allah tidak menilai siapa yang memegang jabatan tertinggi. Allah menilai siapa yang paling ikhlas, paling konsisten, dan paling banyak memberikan manfaat. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Dan manfaat itu bisa kita hadirkan tanpa harus menunggu posisi.
Maka, jangan tunggu ditunjuk, jangan tunggu ada jabatan. Jika ada agenda dakwah, hadirlah. Jika ada yang bisa dibantu, bantulah. Kalau di tingkat DPC atau DPRa ada kegiatan, mari kita ramaikan. Bahkan kalau DPD butuh tambahan tenaga, mari kita siap.
Karena pada akhirnya, dakwah ini bukan tentang siapa yang paling tinggi kedudukannya, tapi siapa yang paling tulus kesediaannya.
Semoga kita semua bisa jadi kader yang selalu hadir, selalu siap, dan selalu memberi, tanpa harus menunggu amanah jabatan. Karena dakwah ini butuh hati yang hidup, bukan hanya struktur yang tertulis.
0 Komentar