[CERBUNG]
Sore itu, di sebuah meja kecil di coworking space yang lebih mirip warnet daripada kantor, aku menunduk dalam. Air mata jatuh perlahan, membasahi keyboard laptop yang menjadi saksi dari begitu banyak mimpi dan rencana yang kini terasa buyar. Ada perasaan hampa, lelah, dan kehilangan arah.
Baru sebulan aku memutuskan untuk resign dan memulai usaha sendiri. Keputusan yang dulu terasa penuh semangat kini berubah jadi keraguan. Akses untuk mendapatkan produk yang harus kujual tiba-tiba disabotase dan ditutup rapat. Semua perusahaan dalam grup tempatku dulu bekerja seolah kompak memusuhi.
Aku dianggap pesaing, padahal aku hanya seorang diri. Tak punya tim, tak punya modal besar. Hanya beberapa sahabat yang mendukung dan menyemangati dari luar. Dunia terasa mengecil, pikiranku gelap, dan langkah terasa buntu.
Tiba-tiba azan magrib terdengar. Lembut, tapi menusuk dada. Seperti panggilan lembut yang mengingatkanku: “Pulanglah pada Allah.”
Aku menutup laptop, lalu beranjak menuju tempat wudhu. Air dingin mengalir membasuh wajah, tangan, dan kaki. Setiap tetesnya seperti menenangkan jiwa yang panas oleh kecewa. Setelah itu, aku masuk ke mushola kecil di pojok ruangan.
Aku menunggu sejenak, berharap ada yang datang untuk berjamaah. Tapi ruang itu tetap sepi. Sebagian penyewa coworking sudah pulang sejak pukul lima. Aku melongok keluar, hanya dua orang yang masih bekerja di depan komputer mereka—tampaknya nonmuslim.
Akhirnya, aku shalat sendiri. Tiga rakaat magrib malam itu terasa begitu panjang. Setiap sujud menjadi ruang untuk berbicara dengan Rabb-ku. Setiap ayat yang kubaca seolah menjawab kegelisahan di dada. Air mata kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena lemah, melainkan karena rindu dan haru.
Aku menangis dalam sujud, memohon petunjuk, memohon kekuatan. “Ya Allah, jika jalan ini bukan yang terbaik, tunjukkan jalan lain. Tapi jika Engkau ridhoi, maka bukakanlah pintu-pintu-Mu,” begitu lirih doaku.
Usai shalat, aku masih duduk lama. Ada rasa ringan yang belum pernah kurasakan sejak beberapa minggu terakhir. Beban seolah diangkat sedikit demi sedikit. Aku pasrah, sepenuhnya berserah pada rencana-Nya.
Ketika kembali ke meja kerja, notifikasi WhatsApp berbunyi. Sebuah pesan masuk dari seorang rekan lama.
“Pak, kami lagi buka peluang dealer resmi untuk produk baru. Bapak berminat?”
Aku membaca pesan itu berulang kali. Seolah tak percaya. Baru beberapa menit lalu aku meminta petunjuk, dan kini jawaban itu datang begitu cepat. Aku langsung menelponnya.
“Bagaimana caranya saya bisa jadi dealernya, Bu Nita?” tanyaku cepat.
“Oh gampang, Pak. Saya kirim link pendaftarannya. Atasan saya juga kenal Bapak, kok,” jawabnya.
“Siapa, Bu?”
“Pak Muhsin, Pak. Kenal kan?”
Aku tersenyum, “Oh iya, kenal baik.”
“Baik Pak, nanti saya kirim link-nya sekarang.”
“Terima kasih, Bu.”
“Sama-sama, Pak.”
Setelah telepon ditutup, dadaku terasa hangat. Ada semangat baru yang tiba-tiba muncul. Lalu, tanpa sadar aku mulai mengingat beberapa kenalan dari pabrikan lain. Aku coba kirim pesan, dan malam itu juga, salah satu dari mereka langsung mengajakku bertemu.
Aku tertegun. Satu akses ditutup, tapi Allah membuka jalan lain. Manusia menolak, tapi Allah menggerakkan hati orang lain untuk datang menawarkan peluang.
Aku menatap layar laptop dengan mata berbinar. Hari ini aku benar-benar belajar sesuatu yang penting. Bahwa tempat bergantung bukanlah manusia, bukan relasi, bukan koneksi. Satu-satunya tempat bergantung hanyalah Allah.
Ketika semua pintu tertutup, Dia yang Maha Kuasa bisa membuka jendela dari arah yang tak pernah kita duga.
Dan di situlah, aku kembali percaya: jika manusia menutup jalanmu, mungkin karena Allah sedang menyiapkan jalan yang lebih luas, lebih terang, dan lebih indah.
Bersambung
0 Komentar