Catatan Setelah Membaca Good to Great: Belajar Jadi Pemimpin Level 5



Sudah lama saya mendengar banyak orang merekomendasikan Good to Great karya Jim Collins. Bahkan, beberapa buku bisnis lain sering mengutipnya. Dan hari ini, akhirnya saya bisa menuntaskan satu bab penting dari buku merah legendaris itu—bab yang membahas kenapa ada perusahaan bisa melompat dari ‘baik’ menjadi ‘luar biasa’, sementara yang lain justru jalan di tempat atau bahkan gagal.

Yang menarik perhatian saya adalah satu konsep: Kepemimpinan Level 5.

Jujur, ketika membaca bagian ini, rasanya seperti sedang bercermin.

Collins menjelaskan bahwa pemimpin Level 5 bukanlah orang yang penuh sorotan, bukan yang tampil paling menonjol, apalagi yang suka dipuja-puja. Justru sebaliknya—mereka rendah hati, tidak silau dengan popularitas, tapi di balik itu punya keteguhan dan tekad yang luar biasa kuat.

Dan saya langsung berpikir, wah, ini PR besar buat saya sebagai founder PT Kawan Listrik Indonesia.


Rendah Hati, Bukan Rendah Diri

Seringkali, saat membangun bisnis, ego kita mudah sekali muncul. Ada keinginan untuk diakui, untuk terlihat berhasil, bahkan kadang ingin cepat-cepat sampai di puncak. Padahal, pemimpin Level 5 justru menundukkan egonya.

Mereka percaya bahwa keberhasilan bukanlah soal “aku”, tapi soal “tim” dan “perusahaan”.

Di titik ini saya tersadar, bahwa Kawan Listrik tidak akan bisa bertahan lama kalau hanya bergantung pada saya seorang. Yang harus dibangun adalah tim yang solid, yang bahkan bisa lebih hebat dari saya.


Tekad Baja di Tengah Badai

Rendah hati saja tidak cukup. Pemimpin Level 5 juga punya keteguhan yang luar biasa. Mereka bisa tetap fokus pada tujuan jangka panjang, meskipun badai datang silih berganti.

Dalam perjalanan Kawan Listrik, badai itu nyata adanya: persaingan harga yang gila-gilaan, pelanggan yang pindah ke kompetitor, sampai tantangan menjaga cashflow. Kadang membuat kepala pening, hati pun goyah.

Tapi bab ini mengingatkan saya, bahwa pemimpin sejati tidak mundur hanya karena keadaan sulit. Kalau visi kita jelas, maka tantangan bukan alasan untuk berhenti, melainkan ujian agar kita semakin tangguh.


Membangun Legacy, Bukan Sekadar Untung

Hal yang paling menusuk adalah ini: pemimpin Level 5 tidak sekadar membangun perusahaan untuk dirinya sendiri. Mereka memikirkan legacy—apa yang akan tetap berdiri bahkan ketika dirinya sudah tidak di sana lagi.

Saya jadi merenung, apa sebenarnya tujuan saya mendirikan PT Kawan Listrik Indonesia? Kalau hanya sekadar cari untung, rasanya saya gak perlu repot-repot. Saya bisa kerja sendiri, mungkin ajak satu dua orang, lalu menikmati hasilnya tanpa harus pusing mikirin tim. Tapi ternyata bukan itu yang hati saya cari. Lebih dari sekadar uang, saya ingin Kawan Listrik jadi perusahaan yang tumbuh kuat, memberi manfaat sebesar-besarnya, dan jadi rumah bagi banyak orang. Saya ingin ada jejak yang bisa ditinggalkan, sesuatu yang tetap berdiri meski suatu hari saya tidak lagi berada di depan.

Artinya, saya harus berani menyiapkan pondasi jangka panjang: sistem yang rapi, tim yang kuat, dan budaya kerja yang sehat. Sehingga kalau suatu saat saya tidak lagi di depan, Kawan Listrik tetap bisa melaju.


Perjalanan Membangun Diri

Membaca tentang Kepemimpinan Level 5 membuat saya sadar, bahwa perjalanan membangun perusahaan ini ternyata juga perjalanan membangun diri.

Saya harus belajar menundukkan ego.
Saya harus berani menghadapi badai.
Saya harus rela berbagi panggung dengan orang-orang hebat di tim.
Dan yang paling penting, saya harus menyiapkan warisan yang akan bertahan lebih lama daripada sekadar nama saya sendiri.

Bagi saya, inilah motivasi terbesar saat ini: bukan hanya membesarkan Kawan Listrik, tapi juga membesarkan diri saya menjadi pemimpin yang lebih matang.


Semoga Allah selalu menjaga niat saya tetap lurus. Semoga Kawan Listrik bisa terus tumbuh menjadi perusahaan yang bermanfaat, bukan hanya untuk saya dan keluarga, tapi juga untuk banyak orang. Dan semoga saya bisa istiqamah belajar menjadi pemimpin yang rendah hati, teguh, dan siap mewariskan sesuatu yang berarti.

Karena pada akhirnya, bisnis ini bukan hanya tentang berapa banyak yang kita hasilkan, tapi tentang seberapa besar manfaat yang bisa kita tinggalkan.

Posting Komentar

0 Komentar