Back To Tarbiyah




Ada masa ketika semangat kita membara. Setiap pekan menanti halaqah, setiap pekan ada energi baru, setiap kali bertemu saudara seperjuangan hati kembali tenang dan iman bertambah. Di sana kita merasa hidup, merasa kuat, merasa dekat dengan Allah.

Namun seiring berjalannya waktu, amanah datang silih berganti. Ada yang sibuk dengan pekerjaan, ada yang disibukkan keluarga, ada yang tersedot dalam hiruk pikuk dunia, ada yang hanyut dalam amanah struktural organisasi. Halaqah mulai terasa berat, tilawah harian tidak lagi seteratur dulu, mutaba’ah sering kosong, bahkan nasehat murabbi tak lagi dirindukan. 

Pelan-pelan tanpa kita sadari, baterai iman mulai menurun dayanya.

Bayangkan sebuah handphone. Secanggih apapun, kalau baterai habis, ia akan mati. Begitu pula kita. Sehebat apapun posisi, sebesar apapun pengaruh, sesibuk apapun aktivitas, kalau iman tidak diisi, lambat laun ruh perjuangan akan padam. Kita mungkin masih bergerak dengan sisa daya, tapi akhirnya akan berhenti total.

Inilah saatnya kita sadar: tarbiyah adalah charger iman kita. Halaqah adalah colokan yang menghubungkan kita dengan sumber energi ketakwaan. Murabbi adalah pengatur arus yang menjaga agar kita terisi dengan baik, tidak berlebihan, tidak kekurangan. Tilawah, dzikir, mutaba’ah, dan amal jama’i adalah aliran daya yang menyuplai ruhiyah kita agar tetap kuat.

Tanpa itu semua, kita akan cepat kehabisan energi. Hati menjadi keras, lisan kering dari dzikir, amal kehilangan makna, dan ukhuwah terasa hambar. Lebih berbahaya lagi, kita bisa kehilangan arah. Bukan karena kurang pintar, bukan karena kurang pengalaman, tapi karena iman yang seharusnya jadi kompas, sedang low-batt bahkan hampir padam.

Maka, seruan “Back To Tarbiyah” bukan sekadar slogan. Ia adalah panggilan jiwa. Panggilan untuk kembali mengisi baterai iman, kembali duduk dalam halaqah, kembali menghidupkan tilawah, kembali bersemangat menuntut ilmu, kembali dikuatkan oleh nasihat murabbi, dan kembali meneguhkan tekad untuk membina orang lain.

Tarbiyah bukan sekadar rutinitas, melainkan proses penyucian jiwa dan penumbuhan iman. Tarbiyah bukan sekadar duduk mendengar, melainkan mengikat hati dalam ikatan ukhuwah. Tarbiyah bukan sekadar pertemuan pekanan, melainkan charger yang membuat kita mampu bertahan dalam badai dakwah.

Lihatlah para pendahulu dakwah ini. Mereka kuat bukan karena harta, bukan karena jabatan, bukan karena popularitas. Mereka kuat karena iman yang selalu diperbarui. Mereka istiqamah karena tarbiyah yang selalu dijaga. Mereka bertahan karena hati mereka terus di-charge oleh Al-Qur’an, halaqah, dan doa-doa yang tak pernah putus.

Kini, saat kita merasa lelah, saat semangat menurun, saat jalan dakwah terasa berat, jawabannya bukan mundur. Jawabannya bukan berhenti. Jawabannya adalah Back To Tarbiyah.

Mari kita kembali. Kembali ke halaqah. Kembali ke tilawah yang teratur. Kembali ke mutaba’ah yang jujur. Kembali menguatkan ukhuwah. Kembali menyusun tekad untuk menjadi murabbi yang melahirkan kader baru. Karena dakwah ini hanya akan bertahan bila setiap kader menjaga imannya tetap menyala.

Jangan biarkan cahaya iman padam karena kita lalai mengisi. Jangan biarkan dakwah ini kehilangan generasi penerus karena kita enggan membina. Jangan biarkan langkah kita berhenti di tengah jalan hanya karena kita lupa men-charge diri.

Mari bersama kita teguhkan komitmen. Mari kita bangkitkan kembali semangat. Mari kita jawab panggilan ini dengan sepenuh hati:

Back To Tarbiyah.

Posting Komentar

0 Komentar