![]() |
Tahun 2021 saat sedang menjalani profesi Sales di perusahaan sebelumnya |
Tahun 2007, saya berangkat dari sebuah desa kecil di Lampung Selatan dengan satu ransel, selembar ijazah SMK Teknik Elektro, dan tekad bahwa nasib bisa berubah jika saya bekerja cukup keras.
Saya merantau ke Tangerang, kota industri yang keras dan penuh persaingan. Saya diterima bekerja di sebuah pabrik kabel sebagai helper—status outsourcing, gaji umr saat itu Rp 800.000 per bulan. Tugas saya sederhana: bantu membersihkan gudang, bantu memindahkan barang. Saat itu menjadi karyawan outsourcing dipandang sebagai karyawan kelas dua. Tapi saya tak pernah berkecil hati. Saya tetap bangga. Karena saya datang membawa satu harapan: saya harus terus bertumbuh.
---
Setelah dua tahun bekerja, saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa kelas karyawan. Sabtu-Minggu saya habiskan di kampus, sementara hari-hari biasa saya tetap bekerja di pabrik.
Di tengah kesibukan kerja dan kuliah, saya juga mulai mengenal beberapa sahabat yang sampai hari ini banyak mengubah jalan hidup saya. Dari mereka saya mulai suka membaca buku, berdiskusi, dan berpikir besar.
Salah satu buku yang menggubah saya saat itu adalah The Magic of Thinking Big karya David J. Schwartz. Di situ saya sadar, kalau ingin hidup berubah, saya harus mengubah pola pikir saya. Saya mulai tertarik masuk ke dunia yang sebelumnya asing: dunia penjualan.
---
Tahun 2010, saya memberanikan diri melamar posisi Sales Executive di perusahaan tempat saya bekerja. Tapi saya ditolak. Saya belum lulus S1 dan bukan karyawan tetap—dua syarat utama untuk posisi itu.
Penolakan itu saya jadikan pelajaran. Saya justru semakin penasaran dan mulai belajar diam-diam: tentang produk, tentang pelanggan, tentang cara berpikir para Sales Senior. Saya belajar dari balik meja Engineering dan Sales Indoor. Saya simpan setiap pelajaran, saya amati setiap percakapan.
---
Lima tahun kemudian, tanpa saya duga, posisi yang dulu menolak saya justru datang sendiri. Kali ini bukan karena ijazah, tapi karena pengalaman, konsistensi, dan kepercayaan.
Saya mulai jadi Sales, dan saya tekuni profesi itu selama sembilan tahun dengan berpindah di tiga perusahaan berbeda.
Dan di titik inilah saya benar-benar mulai paham. Sales bukan sekadar menjual produk. SALES ADALAH SEKOLAH BISNIS TERBAIK YANG PERNAH SAYA JALANI.
Dari dunia Sales, saya belajar:
- Bagaimana memahami kebutuhan pelanggan yang tak selalu terucap
- Bagaimana membangun kepercayaan lewat komunikasi yang jujur
- Bagaimana membaca pasar, bersaing sehat, dan menyelesaikan masalah
- Bagaimana menghadapi penolakan dan tekanan
- Dan yang paling penting: bagaimana menjadi manusia yang mau mendengar dan melayani
Sales melatih saya berpikir cepat, bertindak tepat, dan bertanggung jawab penuh atas hasil.
Banyak yang menilai profesi ini sebelah mata. Tapi justru dari sinilah saya belajar langsung tentang realitas dunia bisnis, yang tidak selalu diajarkan di ruang kuliah.
Masih dalam Proses
Hari ini, saya sedang meniti fase baru dalam hidup—mendirikan usaha sendiri di bidang distribusi kabel listrik. Namanya PT Kawan Listrik Indonesia. Usaha ini masih muda, baru berjalan sekitar 1,5 tahun. Saya belum bisa bilang saya sukses. Tapi saya bersyukur, Allah kirimkan sahabat-sahabat terbaik yang membuat saya berani melangkah.
Saya masih belajar. Masih memperbaiki. Masih jatuh bangun.
Dan saya yakin, semangat untuk terus tumbuh itu datang dari perjalanan saya di dunia Sales.
---
Saya menulis ini bukan untuk membanggakan diri. Tapi untuk mengingatkan diri saya sendiri—dan mungkin teman-teman muda Gen Z yang sedang bingung memilih karir:
Jangan remehkan profesi Sales.
Karena dari sinilah saya belajar bagaimana bisnis sungguh-sungguh bekerja.
Bukan dari teori. Tapi dari medan nyata.
Jika kamu baru lulus sekolah atau kuliah, sedang mencari peluang, atau merasa "cuma" jadi sales… percayalah, kamu sedang berada di sekolah bisnis terbaik.
Bermimpilah besar. Mulailah dari yang kecil. Dan jangan pernah malu jadi Sales.
Salam belajar dan bertumbuh,
Yogie
Tangerang, 2 Juli 2025
0 Komentar