Pagi itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak terdengar suara Hanum yang biasanya ramai bernyanyi atau bertanya hal-hal aneh yang membuat kami geleng kepala. Saya mendapati pintu kamar anak-anak tertutup rapat. Ketika saya ketuk pelan dan menyebut namanya, Hanum yang masih berusia lima tahun langsung membukakan pintu dan tanpa berkata apa-apa, memeluk saya erat sambil menangis tersedu-sedu. Tangisnya pecah, seperti menahan banyak beban yang belum bisa ia ungkap dengan kata-kata.
Semalam ia dimarahi bundanya. Bukan karena berbuat jahat. Tapi karena memilih bermain krayon — dua kotak penuh yang baru saja dibelikan bundanya — dibanding mengikuti pengajian iqro bersama teman-temannya. Krayon itu tak lagi utuh. Sebagian besar patah dan berceceran dari halaman hingga ke depan jalan rumah. Bajunya kotor, mukanya belepotan warna, tangannya penuh debu. Wajar jika bundanya yang baru pulang dari mengajar mengaji, hilang kesabarannya.
Ini bukan kejadian pertama. Hanum memang sangat “kreatif.” Pernah seluruh meja kerja saya dilapisi isolasi bening olehnya. Pernah sandal teman ngajinya ia sembunyikan, entah untuk apa. Pernah juga ia bermain dengan anak kucing, hingga kucing kecil itu tak bisa diselamatkan. Semua peristiwa kecil tapi menguras energi. Bagi bundanya, ini seperti rangkaian ujian yang tak kunjung usai.
Hingga pernah terucap, “Ingin rasanya sehari saja tanpa Hanum.”
Kalimat itu mengendap di hati saya. Membuat saya berpikir lama. Dan jujur, menyayat juga...
Saya duduk di samping Hanum yang masih terisak dalam pelukan saya. Napasnya berat, matanya sembab. Saya usap rambutnya perlahan. Tak ada kata-kata, hanya isak yang perlahan mereda. Dalam hati saya terdiam lama. Merenungi, benarkah selama ini kami sudah cukup bijak menjadi orang tua?
Hanum memang tidak mudah ditebak. Dunia kecilnya penuh warna. Ia tidak duduk diam seperti kakaknya. Ia tidak tertib seperti anak tetangga. Tapi Hanum punya rasa ingin tahu yang besar, imajinasi yang liar, dan semangat yang menyala-nyala — hanya saja, ia belum tahu ke mana harus menyalurkannya. Dan sayangnya, kami sering lebih cepat menyalahkan daripada memahami.
Saya teringat bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan anak-anak. Dengan sabar, lembut, bahkan saat mereka membuat kekacauan di waktu yang tidak tepat. Beliau tidak membentak, tidak menyudutkan, tapi hadir dengan kasih. Padahal beliau membawa beban umat. Sementara saya, hanya diuji dengan satu anak kecil bernama Hanum — dan kadang merasa kewalahan.
Malam-malam terakhir ini saya dan istri lebih sering membicarakan kelelahan, bukan keajaiban tumbuh kembang Hanum. Kami lupa bahwa di balik tangan mungil yang mematahkan krayon, ada jiwa yang sedang tumbuh. Bahwa di balik kenakalannya menyembunyikan sandal teman, ada kecerdasan sosial yang sedang mengamati reaksi sekitar. Kami lupa, bahwa anak tidak diciptakan untuk sempurna — mereka hadir untuk dibimbing, bukan untuk dihukum setiap saat mereka tak sesuai harap.
Saya sadar, menjadi orang tua bukan soal membuat anak patuh. Tapi tentang menemani proses mereka memahami dunia. Tentang menjadi tempat aman ketika mereka bingung, tempat pulang ketika mereka salah, dan tempat berlindung ketika dunia terasa menakutkan. Orang tua harusnya menjadi cermin keteladanan, bukan sumber ketakutan. Harusnya menjadi penjaga fitrah, bukan penghancur keberanian alami anak.
Maka saya dan istri harus belajar kembali. Bukan belajar cara memarahi yang benar, tapi belajar bagaimana mencintai dengan sabar. Belajar berkata pelan saat marah mulai naik. Belajar memeluk sebelum menasihati. Dan belajar bahwa kehadiran bukan hanya fisik, tapi juga hati yang mengerti.
Karena sejatinya, mendidik anak adalah perjalanan panjang — yang menguji bukan hanya mereka, tapi juga akhlak kita sebagai orang tua. Dan jika kita ingin mereka tumbuh menjadi pribadi yang lembut, penyayang, dan berakhlak… maka kitalah yang harus lebih dulu menjadi contoh dari semua itu.
Ayah Hanum
Tangerang, 25 Juli 2025
0 Komentar