Banyak orang mengira bahwa menjadi kaya itu dosa. Seolah-olah jika ingin dekat dengan Allah, harus hidup sederhana, pas-pasan, bahkan miskin. Padahal, Islam tidak pernah melarang umatnya untuk kaya raya. Justru, dengan kaya kita bisa lebih banyak berbuat baik, lebih luas berdakwah, dan lebih kuat membantu sesama.
Namun, tentu ada syaratnya. Seperti yang disampaikan oleh Mohammad Syafi’i Antonio dalam podcastnya bersama Helmi Yahyah: jadilah sekaya-kayanya, asal…
1. Halal, tak menabrak hukum
Rasulullah SAW sejak muda adalah pedagang yang sukses. Beliau ikut pamannya, Abu Thalib, berdagang ke negeri Syam. Di sanalah beliau belajar tentang bisnis, bertemu banyak orang, dan melatih kecerdikan berniaga.
Tapi yang membuat beliau dihormati bukan sekadar pintar berdagang, melainkan karena akhlaknya. Beliau tidak pernah menipu, tidak curang dalam timbangan, dan selalu menepati janji. Karena itu, beliau dijuluki Al-Amin (orang terpercaya).
Puncaknya, ketika dipercaya oleh Khadijah RA untuk membawa dagangannya ke Syam, Rasulullah berhasil membawa keuntungan berlipat ganda. Semua itu karena cara berdagang beliau yang halal dan penuh integritas. Dari keberkahan bisnis itu pula, akhirnya beliau menikah dengan Khadijah RA—yang kelak menjadi penopang utama dakwah Islam.
Pelajaran besar dari sirah ini: rezeki yang halal mungkin terlihat lebih lambat, tapi ia penuh keberkahan dan membuka pintu-pintu kebaikan yang luas.
2. Tidak boleh sombong, karena semua milik Allah
Rasulullah SAW adalah sosok yang sukses secara bisnis, dihormati masyarakat, bahkan di kemudian hari memimpin dunia. Namun, beliau tetap rendah hati.
Ketika rumah tangganya mampu, beliau tetap tidur di atas tikar kasar hingga membekas di tubuhnya. Beliau tetap hidup sederhana, meski mampu untuk hidup mewah. Inilah pengingat bahwa harta hanyalah titipan.
Apa pun yang kita miliki—rumah, mobil, bisnis, tabungan—semua hanyalah milik Allah. Maka, kekayaan tidak seharusnya melahirkan kesombongan, tapi justru kerendahan hati.
3. Harus berbagi
Kekayaan sejati adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW adalah manusia paling dermawan. Ibnu Abbas meriwayatkan: “Rasulullah adalah manusia paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan.” (HR. Bukhari-Muslim).
Para sahabat juga mencontohkan hal ini. Abu Bakar RA menggunakan hartanya untuk membebaskan budak-budak Muslim. Utsman bin Affan RA membiayai pasukan Tabuk dengan 100 ekor unta lengkap dengan perlengkapannya. Abdurrahman bin Auf RA terkenal sebagai saudagar kaya raya, tapi hatinya selalu terpaut pada sedekah.
Tanpa orang-orang kaya yang beriman, sejarah dakwah Islam tidak akan sekuat itu.
Dengan Kaya, Dakwah Jadi Lebih Leluasa
Mari kita bayangkan. Jika Rasulullah tidak pernah menekuni bisnis sejak muda, mungkin beliau tidak akan punya pengalaman besar dalam mengatur harta, mengelola amanah, dan membangun jaringan. Dan jika tidak ada Khadijah RA yang menginfakkan hartanya, mungkin dakwah Islam tidak bisa berdiri tegak di awal-awalnya.
Demikian pula hari ini. Betapa banyak program dakwah yang terhenti karena tidak ada dana. Masjid ingin diperluas, sekolah Islam ingin dibangun, anak yatim ingin disekolahkan—tapi semua terbatas pada biaya.
Inilah alasan mengapa umat Islam harus berani kaya. Dengan kaya, kita bisa berdiri lebih tegak, berbicara lebih lantang, dan berdakwah lebih luas.
Kaya Itu Ibadah
Bekerja keras, berbisnis, menjemput peluang, hingga sukses bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah. Rasulullah SAW telah mencontohkan: berdagang yang jujur, bekerja dengan amanah, lalu menjadikan harta sebagai sarana dakwah.
Kaya bukan tujuan akhir, melainkan alat. Alat untuk memperbesar manfaat, memperluas dakwah, dan memperkuat umat.
Maka, jangan pernah takut bermimpi menjadi kaya. Jadilah sekaya-kayanya, asal halal, tidak sombong, dan mau berbagi.
Dengan harta yang halal, hati yang rendah, dan tangan yang dermawan, kita bisa menjadikan kekayaan bukan sebagai beban, tetapi sebagai jalan menuju surga.
“Jadilah orang kaya sekaya-kayanya, asal… halal, rendah hati, dan gemar berbagi.”
0 Komentar