Di Balik Lelah


Kadang saya merasa kewajiban ini terlalu banyak. Senin sampai Jumat saja sudah habis dengan bisnis. Pagi sampai sore otak penuh memikirkan strategi, melayani pelanggan, memasarkan produk, mengatur keuangan, semua terasa tidak ada ujungnya. Seolah-olah satu selesai, muncul lagi sepuluh hal baru yang harus ditangani.

Malam hari, ingin rasanya rebahan tenang, ingat ada kewajiban lainnya, halaqah. Membina, menemani, mendengarkan. Badan capek, tapi tetap harus hadir.

Begitu masuk Sabtu dan Ahad, bukannya lega, justru penuh agenda. Kegiatan dakwah, tarbiyah, amanah struktural. Sebagai Humas, amanahnya dobel, siang hadir di lapangan, malam edit tulisan, rapikan video, jadwalkan konten. Kadang saya bertanya dalam hati, “Kenapa waktu seminggu itu cuma tujuh hari, bukan ditambah lagi jadi delapan?”

Benar kata Syaikh Hasan Al-Banna, “Kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang tersedia.” Kadang saya merasa kalimat itu bukan sekadar nasihat, tapi kenyataan yang sedang saya alami setiap hari.

Tapi ketika keluhan itu sudah sampai di ujung lidah, ada suara hati yang mengingatkan, bukankah lebih baik lelah di jalan kebaikan daripada sibuk dalam hal sia-sia? Bukankah ini justru tanda Allah masih percaya menitipkan amanah?

Saya mulai sadar, bisnis yang sedang dijalani bukan sekadar urusan perut atau dunia. Ia bisa jadi ladang amal. Setiap transaksi halal, setiap pelanggan yang terbantu, setiap solusi yang diberikan, semua bisa bernilai ibadah.

Begitu juga dakwah. Mungkin capek, mungkin melelahkan. Tapi di situlah letak keberkahan. Kalau dipikir-pikir, capeknya badan ini tidak seberapa dibanding tenangnya hati ketika sadar sedang berjuang di jalan Allah.

Saya pun belajar untuk menyeimbangkan semuanya. Dunia tetap perlu dikejar, tapi bukan sebagai tujuan akhir. Dunia hanya ladang. Akhiratlah tujuan. Bisnis adalah kendaraan, dakwah adalah arah.

Rasulullah SAW mengajarkan keseimbangan itu dengan nyata. Beliau pedagang terpercaya, tapi sekaligus dai sejati. Maka jalan itu pula yang ingin saya tapaki, meski dengan langkah kecil yang belum seberapa.

Akhirnya saya sadar, apapun peran saya, satu hal tidak boleh lepas: “Nahnu du‘at qobla kulli syai’”, kita adalah dai sebelum jadi apapun. Jadi pebisnis boleh, jadi karyawan boleh, jadi profesional juga boleh. Tapi jati diri sebagai dai harus tetap melekat.

Kini, setiap kali rasa lelah itu datang, saya coba ubah menjadi rasa syukur. Lebih baik lelah di jalan kebaikan daripada kosong dalam kesia-siaan. Lebih baik sibuk dengan amanah daripada kosong tanpa arah.

Ternyata, amanah yang menumpuk itu bukan beban, tapi karunia. Allah masih memberi saya kesempatan untuk mengabdi, berkontribusi, dan berkarya.

Maka saya katakan pada diri sendiri: jangan mengeluh terlalu lama. Ganti keluh dengan syukur, ganti lelah dengan doa, ganti berat dengan niat yang ikhlas. Semoga amanah-amanah ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah.

Tangerang, 23 Agustus 2025

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Super Sekali Bang, Setiap lelah niatkan dari awal menjadi Lillah biar rasa itu menjadi Berkah

    BalasHapus