Dakwah adalah amanah suci yang diwariskan dari Rasulullah SAW kepada umatnya. Amanah itu berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu murabbi ke murabbi yang lain, dari satu halaqah kecil ke halaqah berikutnya. Inilah sunnatullah: risalah Islam tidak akan pernah tegak tanpa kader yang membawanya, dan kader tidak akan pernah lahir tanpa tarbiyah.
Namun ada satu bahaya besar yang mengintai dakwah ini. Bahaya yang jauh lebih berbahaya daripada kurangnya dana, lemahnya struktur, atau minimnya fasilitas. Bahaya itu adalah hilangnya generasi penerus dakwah. Hilang, bukan karena mereka tidak ada, tapi karena kita enggan membina.
Ingatlah sejarah. Islam pernah bangkit dari sebuah rumah sederhana di Makkah, Darul Arqam. Dari halaqah-halaqah kecil yang penuh cahaya, lahirlah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Bilal, Mush’ab bin Umair, dan generasi sahabat lainnya. Mereka tidak lahir secara instan. Mereka ditempa, dibina, dan dididik oleh Rasulullah SAW dengan penuh kesabaran. Dari tarbiyah itu, mereka tumbuh menjadi rijalud dakwah, generasi tangguh yang memikul risalah.
Kalau Rasulullah SAW saja memulai dakwah dengan membina manusia, apa alasan kita untuk mengabaikannya? Kalau para sahabat rela menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangun generasi, apa alasan kita untuk merasa cukup dengan aktivitas tanpa tarbiyah?
Bahaya terbesar bukanlah sedikitnya kader, tetapi terputusnya mata rantai kaderisasi.
Ketika halaqah mulai kosong. Ketika murabbi berhenti membina. Ketika kita lebih sibuk dengan urusan pribadi dan melupakan kewajiban melahirkan penerus. Saat itulah dakwah ini benar-benar dalam bahaya.
Bayangkan jika para sahabat dulu enggan membina. Tidak ada Mush’ab bin Umair yang membuka jalan ke Madinah. Tidak ada generasi tabi’in yang melanjutkan perjuangan sahabat. Tidak ada ulama, tidak ada rijal dakwah, tidak ada penerus. Apa jadinya dakwah ini? Pasti terhenti di tengah jalan.
Saudaraku…
Jangan biarkan dakwah ini kehilangan generasi penerus hanya karena kita enggan membina. Jangan biarkan ego kita menghalangi langkah untuk menjadi murabbi. Jangan biarkan rasa lelah, sibuk, atau malas membuat kita melupakan kewajiban mulia ini.
Menjadi murabbi memang bukan hal ringan. Ia butuh kesabaran. Ia butuh keikhlasan. Ia butuh pengorbanan. Tapi ketahuilah, setiap jiwa yang lahir dari bimbingan kita, setiap amal shalih yang mereka lakukan, setiap langkah dakwah yang mereka tempuh, semuanya akan mengalir menjadi pahala jariyah bagi kita.
Ingatlah, dari tangan murabbi lahir rijalud dakwah. Dari lingkaran kecil tarbiyah, lahir pemimpin besar umat. Dari halaqah sederhana, lahir kebangkitan besar Islam.
Maka wahai kader dakwah, mari kita jawab panggilan ini. Hadirilah halaqah dengan sepenuh hati. Ajaklah lebih banyak kader untuk ikut serta. Dan siapkanlah diri untuk membina, karena di situlah letak kejayaan dakwah ini.
Jangan sampai sejarah mencatat kita sebagai generasi yang memutus mata rantai kaderisasi. Jangan sampai dakwah ini berhenti karena kita enggan melahirkan penerus.
Mari kita jaga agar estafet dakwah ini tidak pernah berhenti. Mari kita kobarkan semangat membina. Mari kita tegakkan kembali ruh tarbiyah.
Karena jika bukan kita yang membina, lalu siapa lagi? Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi?
Jangan biarkan dakwah ini kehilangan generasi penerus, hanya karena kita enggan membina.
Tangerang, 25 Agustus 2025
0 Komentar