Hidup Bukan Hanya Soal ‘Survive’, Tapi Juga Memberi Manfaat



Banyak orang mengira bahwa tujuan utama hidup hanyalah bertahan. Bertahan agar dapur tetap mengepul, agar anak-anak tetap bisa sekolah, agar tagihan bisa dibayar tepat waktu. Semua itu memang penting, tetapi jika hidup hanya berhenti di titik bertahan, maka hidup akan terasa sempit, berat, dan cepat kehilangan arah.

Hidup yang hanya fokus pada survive seperti menatap dunia dari celah pintu yang sempit. Kita berjalan, tapi tanpa arah yang jelas. Kita berlari, tapi mudah tersandung. Sebaliknya, ketika kita memutuskan untuk hidup dengan orientasi manfaat, pintu itu terbuka lebar. Kita melihat dunia yang luas, penuh peluang, penuh alasan untuk bangkit, dan penuh energi untuk terus melangkah.

Dalam perjalanan membangun bisnis, saya semakin yakin bahwa angka-angka hanyalah bagian kecil dari cerita. Laba, omzet, dan keuntungan bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju manfaat yang lebih besar. Bisnis adalah ladang kebaikan. Dari bisnis lahir lapangan kerja, terbuka pintu rezeki bagi para karyawan dan keluarganya, tercipta ruang penghidupan yang lebih layak. Setiap produk yang kita jual bukan hanya sekadar barang, tetapi jawaban atas kebutuhan orang lain. Dengan begitu, bisnis bukan lagi sekadar hitungan untung-rugi, tapi sarana memberi manfaat nyata.

Lebih jauh dari itu, hidup bermanfaat juga berarti hadir dalam dakwah. Dakwah bukan sekadar tugas formal, bukan pula sekadar amanah jabatan. Dakwah adalah panggilan hati. Sebuah kesadaran bahwa dunia ini hanyalah tempat singgah, sementara yang abadi adalah amal dan manfaat yang kita tinggalkan. Nama kita mungkin tercatat atau tidak dalam struktur organisasi, tetapi yang lebih penting adalah apakah iman kita menuntun kita untuk hadir, berkontribusi, dan menjadi bagian dari perjuangan kebaikan.

Menjadikan manfaat sebagai orientasi hidup membuat langkah kita lebih kokoh. Kita mungkin lelah, tetapi lelah itu terasa indah. Kita mungkin jatuh, tetapi jatuh itu menjadi pelajaran untuk bangkit lebih kuat. Kita mungkin menghadapi tantangan, tetapi tantangan itu justru menempa kita menjadi pribadi yang lebih tangguh. Semua itu terasa ringan ketika hati kita yakin bahwa setiap usaha, setiap keringat, setiap pengorbanan adalah investasi, bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk hari esok dan kehidupan setelah kematian.

Hidup yang bermanfaat membuat mata kita terbuka lebih luas. Kita melihat karyawan bukan sekadar pekerja, tetapi keluarga besar yang harus kita jaga. Kita melihat pelanggan bukan sekadar pembeli, tetapi saudara yang kita layani dengan sepenuh hati. Kita melihat masyarakat bukan sekadar lingkungan, tetapi bagian dari diri kita yang harus kita berdayakan. Dan kita melihat keluarga bukan sekadar tanggung jawab, tetapi amanah untuk dibimbing dengan kasih sayang dan iman.

Dengan cara pandang seperti ini, hidup menjadi lebih tenang. Setiap langkah ada artinya. Setiap masalah ada maknanya. Setiap pencapaian bukan lagi soal prestise, melainkan peluang untuk berbagi manfaat lebih luas. Dan pada akhirnya, manusia tidak akan mengingat seberapa besar omzet yang pernah kita capai, atau seberapa lama kita mampu bertahan menghadapi badai. Yang mereka kenang hanyalah seberapa banyak manfaat yang pernah kita tinggalkan.

Di situlah makna hidup yang sejati: bukan hanya survive, tetapi memberi arti. Bukan sekadar bertahan, tetapi menghidupkan. Bukan sekadar ada, tetapi menjadi cahaya bagi sesama.

Karena hidup yang terbaik adalah hidup yang manfaatnya tetap terasa, meski kita sudah tiada.


Tangerang, 15 September 2025

Posting Komentar

0 Komentar